Hai
…! Perkenalkan, namaku Liana Muthia. Biar lebih akrab, panggil saja Liana saja,
ya. Aku duduk di bangku kelas empat, tepatnya bersekolah di SDI Fathah Insani.
Nah, aku punya sebuah cerita tentang seorang temanku. Dengarkan baik-baik, ya
….
Aku punya seorang teman yang memakai
kacamata, namanya Sherina. Dia, tuh, anak yang paling kutu buku di kelasku!
Makanya, Sherina itu memakai kacamata. Setiap hari, pasti kacamata miliknya
gonta-ganti. Lho ...? Kok, bisa, ya? Aku sendiri juga tidak tahu. Hehehe ….
Kacamata Sherina itu banyak banget
jumlahnya. Misalnya, hari ini dia pakai kacamata yang berwarna biru muda.
Terus, besoknya dia pakai kacamata yang berwarna hitam. Aneh banget, kan? Maka
dari itu, aku bingung banget sama Sherina. Teman-teman di sekolahku juga
merasakan apa yang aku rasakan.
Sepulang sekolah, aku, Vira, Mira,
dan Zahra, berjalan bersama menuju ke warung es campur Bu Wina. Kami berempat
bersahabat sejak kelas dua.
Sesampainya di warung es campur, aku
terlonjak kaget. Ternyata, di warung es campur ini ada Sherina! Dia sedang
berbicara dengan Hania, sahabatnya. Aku dan sahabatku sempat mendengar
pembicaraan mereka.
“Kamu, kok, gonta-ganti kacamata
terus, sih?” tanya Hania penasaran kepada Sherina.
“Mmm … jangan bilang sama siapa-siapa,
ya! Sebenarnya, aku memakai kacamata hanya untuk bergaya saja,” ucap Sherina
pelan.
“HAH …?! KOK BISA?” pekik Hania
dengan suara yang keraaas … banget!
“Ssst …! Kan, sudah kubilang, jangan
teriak-teriak, dong! Nanti, yang lain malah tahu!” omel Sherina. Tampak dari
wajahnya, Sherina sangat kesal terhadap sahabatnya itu.
“Sorry,
deh! Aku, kan, enggak sengaja. Oh, iya, ngapain kamu memakai kacamata, hanya
untuk bergaya saja? Itu, kan, enggak baik, Sherina! Apa lagi, teman-teman kita
sudah mengira kamu itu sakit mata betulan!” ujar Hania dengan nada bicara yang
sangat tinggi.
“Maafkan aku, ya! Sebenarnya, aku
tidak mau menipu orang-orang di sekitarku. Tapi, setelah kupikir-pikir, banyak
juga orang-orang yang memakai kacamata, tapi hanya untuk bergaya. Tapi, lama
kelamaan, aku jadi ketularan mereka, deh! Aku sadar, perbuatanku ini sama
sekali tidak baik. Jadi … forgive me,
please?” mohon Sherina dengan raut wajah memelas.
“Hmmm …,” Hania berpikir sejenak,
“baiklah, aku akan memaafkanmu. Tapi, dengan satu syarat!”
“Apa syaratnya?” tanya Sherina
penasaran.
“Syaratnya adalah … kamu harus
memberitahu teman-temanmu, bahwa kamu memakai kacamata, hanya untuk bergaya
saja! Jadi, kamu harus mengaku. Itu harus kamu lakukan. Kalau tidak, aku tidak
akan memaafkanmu!” tandas Hania dengan nada bicara yang lumayan tinggi.
“Hmmm … baiklah. Aku akan
melakukannya,” sahut Sherina pelan.
Hah …? Jadi, selama ini Sherina
memakai kacamata hanya untuk bergaya saja? Sherina telah menipu banyak orang.
Karena, orang-orang di sekitar Sherina menganggap bahwa Sherina itu terkena
penyakit mata, makanya dia pakai kacamata. Tapi, tanggapan itu salah. Sherina
benar-benar keterlaluan!
“Teman-Teman, ternyata Sherina itu
telah menipu kita!” seruku tiba-tiba.
“Yap! Kamu betul sekali! Tapi, aku
masih bingung,” ungkap Zahra dengan nada bicara pelan.
“Bingung kenapa? Kan, masalahnya
sudah jelas! Sherina itu memakai kacamata hanya untuk bergaya! Zahra … Zahra.
Masa, kamu masih bingung?” sanggah Vira gemas.
“Bukan itu masalahnya. Aku bingung,
karena masalah Sherina. Karena hanya ingin mengikuti tren terbaru, Sherina rela
menipu banyak orang! Apakah itu perbuatan baik?” ujar Zahra.
“Tentu saja tidak!” balas Mira yang
sedari tadi berdiam diri.
“Hmmm … aku punya ide, nih, untuk
mengatasi masalah Sherina!” seruku bersemangat. Aku sudah menyiapkan rencana
untuk mengatasi permasalahan Sherina.
“Apa …?” tanya ketiga sahabatku
sambil tersenyum lebar.
“Begini, kita akan … pssst … terus, kita beri tahu … pssst …,” aku membisikkan ke telinga Vira. Lalu, Vira membisikkan
apa yang kukatakan tadi kepada Zahra. Zahra pun melakukan apa yang telah
dilakukan olehku dan Vira. Akhirnya, Vira, Mira dan Zahra mengerti tentang
rencanaku.
“Liana, kapan kita jalankan rencana
itu?” tanya Zahra.
“Minggu depan. Ya, besok, Zahra!
Kamu serius sedikit, dong!” omelku. Aku kesal banget sama Zahra yang
kadang-kadang suka tulalit itu.
“Sudahlah, Liana … kamu tidak perlu
memarahi Zahra seperti itu. Nanti, rencana kita malah gagal,” nasihat Mira
sambil merangkul pundakku.
“Betul, tuh, apa kata Mira! Ya,
sudah, kita minum dulu saja es campurnya. Nanti, es campurnya malah jadi enggak
enak,” sahut Vira sambil meneguk es campur miliknya. Sama sepertiku. Sluuurp …. Ah, segarnya!
Saat aku dan para sahabatku sedang
mengobrol di warung es campur, Sherina dan sahabatnya, Hania, beranjak pergi
meninggalkan warung es campur. Sepertinya, Sherina tahu kalau aku dan para
sahabatku sedang mendengarkan obrolannya dengan Hania. Setelah Sherina dan
Hania pergi, aku dan para sahabatku juga pulang ke rumah masing-masing.
Aku semakin tidak sabar, karena akan
menjalani rencana untuk mengatasi permasalah Sherina. Seperti apa, ya, raut
wajah Sherina saat ditanya nanti? Duh, aku semakin tidak sabar saja!
Keesokan harinya, aku, Vira, Mira,
dan Zahra datang pagi-pagi sekali ke sekolah. Kami berniat menemui Sherina.
Kebetulan, dia sedang duduk-duduk santai di taman sekolah.
“Sherinaaa …!” panggilku dengan nada
bicara yang lumayan keras.
“Eh … oh … ada Liana. Ada apa, ya?”
tanya Sherina gugup. Sepertinya, dia tahu bahwa aku akan menanyakan sesuatu
yang penting sama dia.
“Enggak ada apa-apa, kok, Sher. Kami
ke sini cuma mau nanya sesuatu sama kamu,” jelas Mira lembut.
“Hmmm … kalian mau nanya apa sama
aku?” tanya Sherina sambil menghela napas panjang.
“Memangnya benar, ya, kamu itu
memakai kacamata, hanya untuk bergaya saja? Jawab dengan jujur!” tandasku
dengan nada bertanya.
“Ti … tidak, kok? Kalian, kok,
menuduhku seperti itu, sih?” balas Sherina dengan gugup.
“Eh, kami tidak menuduhmu yang
tidak-tidak, kok! Kami hanya bertanya, bukan menuduh! Kami hanya ingin kamu
menjawab pertanyaan kami dengan jujur! Itu saja, kok!” seru Vira dengan raut
wajah marah.
“Aku memang memakai kacamata, tapi
tidak untuk bergaya! Aku tidak berbohong!” ketus Sherina.
“Sudah, sudah! Kalian ini kenapa,
sih? Tidak perlu bertengkar, kok!” lerai Mira.
“Sudah, deh! Mendingan kami ke kelas
saja! Ayo …!” ucapku kepada Vira, Mira, dan Zahra. Aku dan ketiga sahabatku
langsung pergi meninggalkan Sherina.
“Duh, kok, mereka bisa tahu, ya,
kalau aku memakai kacamata, hanya untuk bergaya? Apa Hania memberitahu mereka?
Huuuh …!” Sherina berdecak kesal sambil menghentakkan kaki.
Di kelas, aku dan ketiga sahabatku
sedang mengobrol tentang masalah Sherina. Aku masih bingung, kenapa Sherina itu
tidak mengaku saja, kalau dia itu memakai kacamata hanya untuk bergaya. Itu,
kan, lebih baik dan Sherina takkan menipu banyak orang lagi.
“Aku masih heran banget sama
Sherina,” ujarku pelan.
“Aku juga. Kenapa, sih, dia itu tidak
mau mengaku? Kalau begini terus, dia bakal menipu banyak orang lagi,” timpal
Vira sambil melipat tangan.
“Bagaimana, kalau kita laporkan saja
ke Bu Tina? Bu Tina, kan, guru kelas kita! Siapa tahu, dia bisa membantu
menyelesaikan masalah Sherina!” usul Zahra.
“Jangan dulu! Masalah Sherina itu,
kan, masalah yang tidak terlalu besar. Kalau kita bilang sama Bu Tina, malah
jadi besar masalahnya,” sergahku sambil menahan langkah Zahra yang akan pergi
ke ruang kepala sekolah, tempat Bu Tina berada.
“Terus, masalah Sherina itu mau kita
apakan?” tanya Mira bingung.
“Kita selesaikan saja sendiri!
Maksudku, masalah Sherina ini biar kita yang menyelesaikan. Kita bujuk Sherina
supaya dia mengatakan yang sebenarnya. Nah, kalau Sherina tidak mau, kita bujuk
saja Hania. Dia, kan, sudah menyuruh Sherina untuk mengaku. Insya Allah, Hania
akan mengatakan yang sebenarnya tentang masalah Sherina,” jelasku panjang …
jang ... lebar. Hehehe ….
“Oke, aku setuju!” timpal Vira
sambil tersenyum simpul.
“Me
too …!” kata Zahra sambil menepuk bahuku, artinya dia setuju atas usulanku.
“Wah … Zahra sudah mulai berbahasa
Inggris, nih! Hahaha …. Oh, iya, usulan Liana tadi, aku setuju!” kata Mira
sambil tertawa melihat Zahra yang berbicara memakai bahasa Inggris.
“Biarin! Aku, kan, juga mau pintar
dalam bahasa Inggris! You understand?”
ucap Zahra sambil melipat tangan. Tapi, aku tahu, Zahra itu hanya bercanda.
Memang, sih, logat bahasa Inggris Zahra itu bagus, tapi … raut mukanya itu, lho
… lucu banget! Hahaha ….
“Ya, sudah, deh. Oh, iya, sudah bel,
tuh! Yuk, kita masuk kelas! Kita membujuk Sherina saat istirahat saja,” ujar
Vira. Aku, Mira, dan Zahra mengangguk, lalu berjalan menuju ke kelas.
Saat istirahat, aku dan ketiga
sahabatku ke luar kelas untuk mencari Sherina. Rupanya, Sherina sedang membaca
buku di perpustakaan sekolah.
“Hai, Sher!” sapaku sambil tersenyum
manis ke arah Sherina.
“Eh, ada kalian. Ada apa, ya?” tanya
Sherina. Tampaknya, dia tahu kami akan menanyakan tentang kacamatanya. Tapi,
kenapa dia pura-pura tidak tahu, ya?
“Hmmm … langsung to the point saja, ya. Kami ingin kamu
menjawab pertanyaan kami dengan jujur,” tandas Vira.
Sherina tampak gelisah sebelum
menjawab pertanyaan dari kami.
“Memangnya, kamu memakai kacamata
itu hanya untuk bergaya saja? Jawab dengan jujur!” ucap Mira tegas. Mira itu
memang tegas dan berwibawa.
“Eh … dari mana kalian tahu?” tanya
Sherina berbasa-basi. Aku tahu, Sherina itu hanya mengalihkan pembicaraan.
“Sudahlah, Sherina. Jawab saja
dengan jujur! Kalau tidak, kami akan menemui Hania untuk mengatakan yang
sebenarnya!” ancam Zahra.
“Oke, aku mengaku. Aku memang
memakai kacamata hanya untuk bergaya. Aku memakai kacamata, karena aku
mengikuti tren saat ini. Setelah kupikir-pikir, ternyata perbuatanku salah.
Maafkan aku, ya.” Sherina tampak menahan tangisnya. Sungguh, aku sangat
terkejut, saat mendengar pernyataan Sherina tadi. Perbuatan Sherina itu memang
sudah keterlaluan!
“Astaghfirullah … bagaimana kamu bisa
melakukan hal keji ini? Kamu berdosa, lho, karena sudah melakukan hal ini! Kamu
itu telah menipu banyak orang, dan orang mengira bahwa kamu itu memakai
kacamata, karena kamu terkena penyakit mata. Apakah kamu tidak merasa
bersalah?” seru Vira dengan raut muka marah. Sepertinya, Vira sangat marah
akibat perbuatan Sherina.
“Maafkan aku, Teman-Teman,” ucap
Sherina lirih.
“Ya, kami akan memaafkanmu. Asalkan
dengan satu syarat!” seruku sambil mendekati Sherina.
“Apa syaratnya? Yang penting, kalian
mau memaafkanku!” ujar Sherina pelan.
“Syaratnya adalah … kamu harus
meminta maaf kepada semua orang yang telah kamu tipu! Jika tidak, kami takkan
pernah memercayaimu!” ancam Zahra.
“Baiklah. Akan kuusahakan. Terima
kasih, ya, sudah memaafkanku! Aku pergi dulu, ya. Assalamu ‘alaikum!” kata
Sherina dengan raut muka gembira. Tampak dari wajahnya, dia sudah lebih tenang dan
lega.
“Wa ‘alaikum salam!” jawab aku dan
ketiga sahabatku. Aku mendesah lega, karena masalah Sherina sudah
terselesaikan.
Nah, itulah pengalamanku dalam
menyelesaikan masalah. Seperti detektif juga, sih! Tapi, seru banget, lho!
2 Komentar Pembaca:
Ayo...buruan comment! :)
Bagus lho sausan, aku baru baca cerita nya 3.. soalnya waktu dulu aku juga buka blogmu tapinya dari HP dan lagi musim ulangan.. jadinya... jaarang buka blogmu, sausan maaf yaa
Posting Komentar