Sabtu, 02 Juni 2012

Cerpenku : Kacamata Sherina


Hai …! Perkenalkan, namaku Liana Muthia. Biar lebih akrab, panggil saja Liana saja, ya. Aku duduk di bangku kelas empat, tepatnya bersekolah di SDI Fathah Insani. Nah, aku punya sebuah cerita tentang seorang temanku. Dengarkan baik-baik, ya ….
            Aku punya seorang teman yang memakai kacamata, namanya Sherina. Dia, tuh, anak yang paling kutu buku di kelasku! Makanya, Sherina itu memakai kacamata. Setiap hari, pasti kacamata miliknya gonta-ganti. Lho ...? Kok, bisa, ya? Aku sendiri juga tidak tahu. Hehehe ….
            Kacamata Sherina itu banyak banget jumlahnya. Misalnya, hari ini dia pakai kacamata yang berwarna biru muda. Terus, besoknya dia pakai kacamata yang berwarna hitam. Aneh banget, kan? Maka dari itu, aku bingung banget sama Sherina. Teman-teman di sekolahku juga merasakan apa yang aku rasakan.
            Sepulang sekolah, aku, Vira, Mira, dan Zahra, berjalan bersama menuju ke warung es campur Bu Wina. Kami berempat bersahabat sejak kelas dua.
            Sesampainya di warung es campur, aku terlonjak kaget. Ternyata, di warung es campur ini ada Sherina! Dia sedang berbicara dengan Hania, sahabatnya. Aku dan sahabatku sempat mendengar pembicaraan mereka.
            “Kamu, kok, gonta-ganti kacamata terus, sih?” tanya Hania penasaran kepada Sherina.
            “Mmm … jangan bilang sama siapa-siapa, ya! Sebenarnya, aku memakai kacamata hanya untuk bergaya saja,” ucap Sherina pelan.
            “HAH …?! KOK BISA?” pekik Hania dengan suara yang keraaas … banget!
            “Ssst …! Kan, sudah kubilang, jangan teriak-teriak, dong! Nanti, yang lain malah tahu!” omel Sherina. Tampak dari wajahnya, Sherina sangat kesal terhadap sahabatnya itu.
            “Sorry, deh! Aku, kan, enggak sengaja. Oh, iya, ngapain kamu memakai kacamata, hanya untuk bergaya saja? Itu, kan, enggak baik, Sherina! Apa lagi, teman-teman kita sudah mengira kamu itu sakit mata betulan!” ujar Hania dengan nada bicara yang sangat tinggi.
            “Maafkan aku, ya! Sebenarnya, aku tidak mau menipu orang-orang di sekitarku. Tapi, setelah kupikir-pikir, banyak juga orang-orang yang memakai kacamata, tapi hanya untuk bergaya. Tapi, lama kelamaan, aku jadi ketularan mereka, deh! Aku sadar, perbuatanku ini sama sekali tidak baik. Jadi … forgive me, please?” mohon Sherina dengan raut wajah memelas.
            “Hmmm …,” Hania berpikir sejenak, “baiklah, aku akan memaafkanmu. Tapi, dengan satu syarat!”
            “Apa syaratnya?” tanya Sherina penasaran.
            “Syaratnya adalah … kamu harus memberitahu teman-temanmu, bahwa kamu memakai kacamata, hanya untuk bergaya saja! Jadi, kamu harus mengaku. Itu harus kamu lakukan. Kalau tidak, aku tidak akan memaafkanmu!” tandas Hania dengan nada bicara yang lumayan tinggi.
            “Hmmm … baiklah. Aku akan melakukannya,” sahut Sherina pelan.
            Hah …? Jadi, selama ini Sherina memakai kacamata hanya untuk bergaya saja? Sherina telah menipu banyak orang. Karena, orang-orang di sekitar Sherina menganggap bahwa Sherina itu terkena penyakit mata, makanya dia pakai kacamata. Tapi, tanggapan itu salah. Sherina benar-benar keterlaluan!
            “Teman-Teman, ternyata Sherina itu telah menipu kita!” seruku tiba-tiba.
            “Yap! Kamu betul sekali! Tapi, aku masih bingung,” ungkap Zahra dengan nada bicara pelan.
            “Bingung kenapa? Kan, masalahnya sudah jelas! Sherina itu memakai kacamata hanya untuk bergaya! Zahra … Zahra. Masa, kamu masih bingung?” sanggah Vira gemas.
            “Bukan itu masalahnya. Aku bingung, karena masalah Sherina. Karena hanya ingin mengikuti tren terbaru, Sherina rela menipu banyak orang! Apakah itu perbuatan baik?” ujar Zahra.
            “Tentu saja tidak!” balas Mira yang sedari tadi berdiam diri.
            “Hmmm … aku punya ide, nih, untuk mengatasi masalah Sherina!” seruku bersemangat. Aku sudah menyiapkan rencana untuk mengatasi permasalahan Sherina.
            “Apa …?” tanya ketiga sahabatku sambil tersenyum lebar.
            “Begini, kita akan … pssst  … terus, kita beri tahu … pssst …,” aku membisikkan ke telinga Vira. Lalu, Vira membisikkan apa yang kukatakan tadi kepada Zahra. Zahra pun melakukan apa yang telah dilakukan olehku dan Vira. Akhirnya, Vira, Mira dan Zahra mengerti tentang rencanaku.
            “Liana, kapan kita jalankan rencana itu?” tanya Zahra.
            “Minggu depan. Ya, besok, Zahra! Kamu serius sedikit, dong!” omelku. Aku kesal banget sama Zahra yang kadang-kadang suka tulalit itu.
            “Sudahlah, Liana … kamu tidak perlu memarahi Zahra seperti itu. Nanti, rencana kita malah gagal,” nasihat Mira sambil merangkul pundakku.
            “Betul, tuh, apa kata Mira! Ya, sudah, kita minum dulu saja es campurnya. Nanti, es campurnya malah jadi enggak enak,” sahut Vira sambil meneguk es campur miliknya. Sama sepertiku. Sluuurp …. Ah, segarnya!
            Saat aku dan para sahabatku sedang mengobrol di warung es campur, Sherina dan sahabatnya, Hania, beranjak pergi meninggalkan warung es campur. Sepertinya, Sherina tahu kalau aku dan para sahabatku sedang mendengarkan obrolannya dengan Hania. Setelah Sherina dan Hania pergi, aku dan para sahabatku juga pulang ke rumah masing-masing.
            Aku semakin tidak sabar, karena akan menjalani rencana untuk mengatasi permasalah Sherina. Seperti apa, ya, raut wajah Sherina saat ditanya nanti? Duh, aku semakin tidak sabar saja!
            Keesokan harinya, aku, Vira, Mira, dan Zahra datang pagi-pagi sekali ke sekolah. Kami berniat menemui Sherina. Kebetulan, dia sedang duduk-duduk santai di taman sekolah.
            “Sherinaaa …!” panggilku dengan nada bicara yang lumayan keras.
            “Eh … oh … ada Liana. Ada apa, ya?” tanya Sherina gugup. Sepertinya, dia tahu bahwa aku akan menanyakan sesuatu yang penting sama dia.
            “Enggak ada apa-apa, kok, Sher. Kami ke sini cuma mau nanya sesuatu sama kamu,” jelas Mira lembut.
            “Hmmm … kalian mau nanya apa sama aku?” tanya Sherina sambil menghela napas panjang.
            “Memangnya benar, ya, kamu itu memakai kacamata, hanya untuk bergaya saja? Jawab dengan jujur!” tandasku dengan nada bertanya.
            “Ti … tidak, kok? Kalian, kok, menuduhku seperti itu, sih?” balas Sherina dengan gugup.
            “Eh, kami tidak menuduhmu yang tidak-tidak, kok! Kami hanya bertanya, bukan menuduh! Kami hanya ingin kamu menjawab pertanyaan kami dengan jujur! Itu saja, kok!” seru Vira dengan raut wajah marah.
            “Aku memang memakai kacamata, tapi tidak untuk bergaya! Aku tidak berbohong!” ketus Sherina.
            “Sudah, sudah! Kalian ini kenapa, sih? Tidak perlu bertengkar, kok!” lerai Mira.
            “Sudah, deh! Mendingan kami ke kelas saja! Ayo …!” ucapku kepada Vira, Mira, dan Zahra. Aku dan ketiga sahabatku langsung pergi meninggalkan Sherina.
            “Duh, kok, mereka bisa tahu, ya, kalau aku memakai kacamata, hanya untuk bergaya? Apa Hania memberitahu mereka? Huuuh …!” Sherina berdecak kesal sambil menghentakkan kaki.
            Di kelas, aku dan ketiga sahabatku sedang mengobrol tentang masalah Sherina. Aku masih bingung, kenapa Sherina itu tidak mengaku saja, kalau dia itu memakai kacamata hanya untuk bergaya. Itu, kan, lebih baik dan Sherina takkan menipu banyak orang lagi.
            “Aku masih heran banget sama Sherina,” ujarku pelan.
            “Aku juga. Kenapa, sih, dia itu tidak mau mengaku? Kalau begini terus, dia bakal menipu banyak orang lagi,” timpal Vira sambil melipat tangan.
            “Bagaimana, kalau kita laporkan saja ke Bu Tina? Bu Tina, kan, guru kelas kita! Siapa tahu, dia bisa membantu menyelesaikan masalah Sherina!” usul Zahra.
            “Jangan dulu! Masalah Sherina itu, kan, masalah yang tidak terlalu besar. Kalau kita bilang sama Bu Tina, malah jadi besar masalahnya,” sergahku sambil menahan langkah Zahra yang akan pergi ke ruang kepala sekolah, tempat Bu Tina berada.
            “Terus, masalah Sherina itu mau kita apakan?” tanya Mira bingung.
            “Kita selesaikan saja sendiri! Maksudku, masalah Sherina ini biar kita yang menyelesaikan. Kita bujuk Sherina supaya dia mengatakan yang sebenarnya. Nah, kalau Sherina tidak mau, kita bujuk saja Hania. Dia, kan, sudah menyuruh Sherina untuk mengaku. Insya Allah, Hania akan mengatakan yang sebenarnya tentang masalah Sherina,” jelasku panjang … jang ... lebar. Hehehe ….
            “Oke, aku setuju!” timpal Vira sambil tersenyum simpul.
            “Me too …!” kata Zahra sambil menepuk bahuku, artinya dia setuju atas usulanku.
            “Wah … Zahra sudah mulai berbahasa Inggris, nih! Hahaha …. Oh, iya, usulan Liana tadi, aku setuju!” kata Mira sambil tertawa melihat Zahra yang berbicara memakai bahasa Inggris.
            “Biarin! Aku, kan, juga mau pintar dalam bahasa Inggris! You understand?” ucap Zahra sambil melipat tangan. Tapi, aku tahu, Zahra itu hanya bercanda. Memang, sih, logat bahasa Inggris Zahra itu bagus, tapi … raut mukanya itu, lho … lucu banget! Hahaha ….
            “Ya, sudah, deh. Oh, iya, sudah bel, tuh! Yuk, kita masuk kelas! Kita membujuk Sherina saat istirahat saja,” ujar Vira. Aku, Mira, dan Zahra mengangguk, lalu berjalan menuju ke kelas.
            Saat istirahat, aku dan ketiga sahabatku ke luar kelas untuk mencari Sherina. Rupanya, Sherina sedang membaca buku di perpustakaan sekolah.
            “Hai, Sher!” sapaku sambil tersenyum manis ke arah Sherina.
            “Eh, ada kalian. Ada apa, ya?” tanya Sherina. Tampaknya, dia tahu kami akan menanyakan tentang kacamatanya. Tapi, kenapa dia pura-pura tidak tahu, ya?
            “Hmmm … langsung to the point saja, ya. Kami ingin kamu menjawab pertanyaan kami dengan jujur,” tandas Vira.
            Sherina tampak gelisah sebelum menjawab pertanyaan dari kami.
            “Memangnya, kamu memakai kacamata itu hanya untuk bergaya saja? Jawab dengan jujur!” ucap Mira tegas. Mira itu memang tegas dan berwibawa.
            “Eh … dari mana kalian tahu?” tanya Sherina berbasa-basi. Aku tahu, Sherina itu hanya mengalihkan pembicaraan.
            “Sudahlah, Sherina. Jawab saja dengan jujur! Kalau tidak, kami akan menemui Hania untuk mengatakan yang sebenarnya!” ancam Zahra.
            “Oke, aku mengaku. Aku memang memakai kacamata hanya untuk bergaya. Aku memakai kacamata, karena aku mengikuti tren saat ini. Setelah kupikir-pikir, ternyata perbuatanku salah. Maafkan aku, ya.” Sherina tampak menahan tangisnya. Sungguh, aku sangat terkejut, saat mendengar pernyataan Sherina tadi. Perbuatan Sherina itu memang sudah keterlaluan!
            “Astaghfirullah … bagaimana kamu bisa melakukan hal keji ini? Kamu berdosa, lho, karena sudah melakukan hal ini! Kamu itu telah menipu banyak orang, dan orang mengira bahwa kamu itu memakai kacamata, karena kamu terkena penyakit mata. Apakah kamu tidak merasa bersalah?” seru Vira dengan raut muka marah. Sepertinya, Vira sangat marah akibat perbuatan Sherina.
            “Maafkan aku, Teman-Teman,” ucap Sherina lirih.
            “Ya, kami akan memaafkanmu. Asalkan dengan satu syarat!” seruku sambil mendekati Sherina.
            “Apa syaratnya? Yang penting, kalian mau memaafkanku!” ujar Sherina pelan.
            “Syaratnya adalah … kamu harus meminta maaf kepada semua orang yang telah kamu tipu! Jika tidak, kami takkan pernah memercayaimu!” ancam Zahra.
            “Baiklah. Akan kuusahakan. Terima kasih, ya, sudah memaafkanku! Aku pergi dulu, ya. Assalamu ‘alaikum!” kata Sherina dengan raut muka gembira. Tampak dari wajahnya, dia sudah lebih tenang dan lega.
            “Wa ‘alaikum salam!” jawab aku dan ketiga sahabatku. Aku mendesah lega, karena masalah Sherina sudah terselesaikan.
            Nah, itulah pengalamanku dalam menyelesaikan masalah. Seperti detektif juga, sih! Tapi, seru banget, lho!

2 Komentar Pembaca:

Sαusαn Nαjdα Andriαni mengatakan...

Ayo...buruan comment! :)

po mengatakan...

Bagus lho sausan, aku baru baca cerita nya 3.. soalnya waktu dulu aku juga buka blogmu tapinya dari HP dan lagi musim ulangan.. jadinya... jaarang buka blogmu, sausan maaf yaa

Posting Komentar